In

90 Detik

Apa yang akan kalian lakukan apabila terjebak dalam lampu lalu lintas yang mengharuskan kalian menunggu selama beberapa menit? Mungkin sebagian dari kalian akan mengeluh, marah atau mungkin juga ada yang sampai mengumpat. Aku juga pernah berada dalam situasi seperti itu, terpakasa berhenti selama 90 detik hanya untuk menunggu pergantian warna lampu dari merah menjadi hijau. Tetapi aku sama sekali tidak melakukan hal-hal yang seperti orang lain lakukan. Dalam waktu 90 detik  satu-satunya yang aku lakukan hanya merenung.

Aku masih sangat ingat kejadian sore itu, ketika aku harus berhenti disebuah lampu lalu lintas di Solo karena memang lampu sudah menunjukkan warna merah. Selama 90 detik itu aku melihat banyak hal. Ada orang yang naik motor ngebut-ngebutan, ada yang sedang duduk santai di mobil sama keluarganya, ada yang lari-larian entah karena sedang dikejar apa bahkan tepat disebelahku waktu itu ada sepasang kakek dan nenek yang sedang mendorong gerobak mereka yang berisikan barang rongsokan. Saat melihat itu semua, yang pertama terlintas dalam pikiranku adalah “Apa jadinya ya aku lima tahun ke depan? Apakah aku akan seperti Bapak itu yang tengah berlari terburu-buru karena pekerjaan mereka sudah menunggu atau malah diam karena tidak ada sesuatu yang bisa aku lakukan. Apakah lima tahun ke depan ketika aku berhenti di lalu lampu lalu lintas akan tetap mengendarai motor seperti yang aku pakai ini, atau kendaraan lain yang jauh lebih baik?” Satu-satunya jawaban yang aku punya saat itu adalah “aku harus jadi lebih baik dari saat ini”.

Beberapa saat kemudian lamunanku sedikit buyar saat mendengar suara yang cukup keras. Ternyata suara itu berasal dari gerobak kakek dan nenek yang ditabarak oleh angkot yang hendak belok ke kiri. Dalam hati aku merasa miris dan hanya bisa beristighfar. Melihat semua itu tekad untuk “bisa jadi lebih baik di masa depan”  semakin menguat. Aku tidak ingin kelak ketika aku sudah dewasa aku melihat orang tua ku atau mungkin aku sendiri mengalami kejadian sama seperti kakek dan nenek tersebut. Aku ingin melihat kedua orang tuaku menghabiskan masa tuanya dengan ketenangan, tanpa beban. Aku ingin membahagiakan beliau, memberikan kehidupan yang baik di masa tuanya sebagaimana beliau telah memberikan kehidupan yang sangat baik untukku. Satu-satunya hal yang mungkin dapat mengurangi beban pikiran ke dua orang tua ketika kita beranjak dewasa adalah saat mereka sudah dapat melihat kita sukses. Sukses disini bukan berarti kita harus langsung berubah menjadi orang kaya dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan. Sukses disini sederhana, yang penting kita dapat “merdekakakan” hidup kita dari segala hal.

90 detik mengajariku untuk berjuang

Kalau boleh sedikit jujur dan bercerita, kondisi perekonomian keluargaku juga tidak sepenuhnya mencapai taraf “merdeka”. Ada banyak hal yang harus dilewati oleh kedua orang tua saya untuk dapat memerdekakan perekonomian mereka. Sebagian orang berpikir bahwa dengan pekerjaan kedua orang tua saya yang bisa dibilang cukup mapan akan sangat mudah untuk mencukupi segala sesuatu yang diinginkan. Tetapi kebanyakan dari mereka juga tidak tahu bahwa segala sesuatu tidak ada yang seinstan itu, semuanya butuh proses, begitupun kedua orang tuaku.

Masih sangat jelas diingatanku tentang rumah pertama yang aku tempati. Rumah ini masih berstatus rumah kontrakan. Dengan ukuran yang tidak terlalu luas dan sangat minimalis. Banyak sekali permasalahan yang muncul pada saat menempati rumah ini. Tapi apa boleh buat, kami tetap tinggal di tempat ini karena yaa memang rumah inilah yang mampu disewa oleh kedua orang tauku pada saat itu. Sampai setelahnya kami mampu membeli rumah sendiri. Rumah dengan ukuran yang jauh lebih besar dari rumah kontrakan waktu itu. Dari semula kami hanya memiliki sepeda, perlahan-lahan kedua orang tau mampu membeli motor. Motor yang dulu hanya satu kini Alhamdulillah bisa memiliki lebih. Dari yang semula hanya motor kini mampu membeli kendaraan lain yang mampu melindungi dari panas dan hujan. Dari kedua orang tuaku, aku belajar bahwa semakin kita melangkah kedepan, kita harus mampu memperbaiki hidup. Dan aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk melihat proses itu. Proses kehidupan dari yang semula hanya sekedar cukup kini berubah menjadi lebih dari cukup.

Kelak akupun ingin memiliki kehidupan yang berkecukupan seperti yang sudah kedua orang tuaku berikan, agar aku tidak bingung meminjam uang kesana kemari saat ada anggota keluargaku ada yang sakit, agar aku tidak bingung mencari dana pendidikan anak-anakku kelak, agar aku tidak bingung memikirkan biaya untuk makan esok hari. Aku hanya ingin hidup serba berkecukupan. Cukup untuk membahagiakan orang tuaku, cukup untuk kebutuhan keluargaku dan cukup untuk membantu orang-orang di sekelilingku. Jika pada akhirnya Tuhan memberiku lebih, maka itu adalah hal yang akan sangat aku syukuri.

90 detik di lampu merah mengajariku untuk bersyukur

Saat melihat orang lain bahagia apa sih yang biasanya kalian rasain? Seharusnya kita ikut bahagia, tapi tak jarang terselip rasa iri yang mengikutinya. Dan sayangnya rasa iri ini akan menjadi hal yang membuat kita kufur atas nikmat yang selama ini kita miliki. Jujur, aku juga pernah iri saat melihat orang lain atau orang terdekatku mendapatkan sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan. "Kenapa bukan aku? Kenapa aku tidak bisa seberuntung dia?" dan masih banyaaaaak pertanyaan sejenis itu yang sering menghantui kita. Ketika berhenti di lampu merah saat itu sebiah quotes melintas di benakku. “Don’t compare your life to others and don’t jugde them. You have no idea what their journey is all about”.

Untuk memahami quotes ini aku mencoba memalik keadaannya. Disini aku menempatkan diriki sebagai orang yang “diirikan” bukan orang yang sedang “iri”. Dulu waktu masih SMA kadang sering sebel kalau ada temen yang bilang “Fita mah gak usah belajar juga kalau ulangan pasti di atas KKM”. Yeaa kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa mendapatkan nilai di atas KKM tersebut. Aku harus mengurangi jam istirahat untuk ikut les yang kadang samapi berjam-jam. Belajar sampai larut dan kadang masih harus ditambah bangun sebelum subuh untuk kembali mereview materi.

Saat dulu sering ikut lomba yang bernuansa Bahasa Inggris ada aja yang ngira kalau itu emang udah bakatku. Padahal kalau boleh jujur dari awal aku gak punya bakat bisa ngomong pakai bahasa inggris. Bahkan waktu kelas satu SMA saja aku gak bisa nulis one sampe ten pake bahasa Inggris. Aku gak tau apa-apa, bener-bener nol! Sampai akhirnya waktu kelas satu aku memutuskan untuk ikut les. Mulai nyoba dengerin lagu-lagu bahasa Inggris yang dulu gak terlalu aku sukai. Dan ketika sebagian orang mengahabisakan waktu liburan semesteran untuk bermain, aku memilih untuk menekuni buku grammar. Tapi semua ini tidak sia-sia, waktu awal masuk SMA aku masuk tim debate. Lomba pertama yang aku ikuti saat SMA ya English Debate Competition ini. Walaupun dulu cuma dapet juara dua tapi tetep seneng. Guru di SMA juara bahkan sempet mengacungkan kedua jempolnya saat gak sengaja papasan dan mbak yang ngelatih SMA juara ini juga bilang ke Ayahnya (yang ternyata adalah guru saya) bahwa perform saya saat itu sangat bagus. Well, ketika pihak lawan memujimu, itu adalah kemenangan terbesar dalam hidupmu. Tetapi lebih dari itu semua, ada satu kebanggaan yang muncul bahwa ternyata perjuanganku selama ini nggak sia-sia.

Pada saat itu aku sadar bahwa aku juga sudah melalui banyak hal, dan ketika aku merasa iri dengan orang lain aku merasa seperti tidak menghargai apa yang telah aku raih selama ini, apa yang telah aku lalui dan perjuangan yang telah aku lewati. Mungkin inilah yang dilakukan orang lain, mereka bisa sampai ke titik yang tidak dapat aku capai karena mereka juga melakukan banyak hal yang tidak aku lakukan. Kalau aku ingin sampai ke titik yang sama seperti mereka, itu artinya aku harus berusaha lebih, bukannya malah memupuk iri tanpa melakukan apapun. Karena kalau hal itu terjadi, perjuanganku selama ini akan terlihat sia-sia. Menguap begitu saja digantikan kabut iri yang semakin menebal. Aku tidak ingin seperti itu, aku ingin mulai belajar untuk mensyukuri segala sesuatu yang ada dalam hidup, yang sudah diberikan Tuhan sebagai anugrahnya kepadaku. Mungkin apa yang aku miliki tidak sebaik milik orang lain, tapi ini adalah yang terbaik untuk diriku.

90 detik mendewasakanku

Sama seperti tahun-tahun lalu, aku selalu membuat tulisan di blog ini saat ulang tahun ataupun sesudahnya. Dan tahun ini usiaku sudah menginjak angka 19. Usia terakhir di kepala satu karena tahun depan aku sudah menginjak usia 20. Apapun yang aku tulis disini hanya sebagai penyemangat dan pengingat untuk diriku sendiri agar selalu bisa menjadi lebih baik ke depannya. Ada banyak hal yang ingin aku rubah diusia ini. Sifat manja, ambekan, dan lain sebagainya. Setelah merenungkan segala sesuatunya, kini aku sudah bisa melihat dengan lebih jelas apa yang sebenernya aku inginkan dalam hidup atau lebih tepatnya mau dibawa kemana hidupku ini kedepannya. Ada banyak hal yang masih harus aku wujudkan sebelum usiaku menginjak angka 30 dan semua itu juga tidak akan berjalan semudah itu. Aku harus lebih menyiapkan tangan yang bekerja lebih banyak dari biasanya, otak yang berpikir lebih keras dari biasanya, dan bibir yang akan lebih banyak berdoa dari biasanya. Karena pada titik dimana aku menulis tulisan ini, aku sadar bahwa mimpiku yang ‘tidak biasa’ ini tidak akan pernah terwujud jika selamanya aku hanya menjadi orang yang ‘biasa-biasa saja’.

***

Ada banyak hal yang dapat dilakukan selama 90 detik berhenti di lampu merah. Sebagian orang memilih untuk diam, sebagian orang memilih untuk marah-marah dan sebagian orang memilih untuk memencet klaksonnya terus menerus. 90 detik di lampu merah aku memutuskan untuk membuat hidupku selangkah lebih baik dan lebih jelas. Lalu apa yang akan kalian lakukan di 90 detik kalian?

Terimakasih , 90 detik di ujung senja

Surakarta, 1 September 2014


Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar